KPK Diminta Tanggung Jawab Soal Kematian Saksi Kunci Kasus E-KTP

Senin, 14 Agustus 2017 - 15:51 WIB
KPK Diminta Tanggung Jawab Soal Kematian Saksi Kunci Kasus E-KTP
KPK Diminta Tanggung Jawab Soal Kematian Saksi Kunci Kasus E-KTP
A A A
JAKARTA - Ketua Komisi III DPR‎ Bambang Soesatyo meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertanggung jawab atas meninggalnya saksi kunci kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP), Johannes Marliem.

Sebab, seorang ‎saksi kunci sebuah mega kasus akan menghadapi ancaman sangat serius. Pria yang akrab disapa Bamsoet ini mengatakan, saksi kunci dan keluarganya patut mendapatkan perlindungan maksimal untuk menangkal ancaman itu.

"Karena itu, institusi yang memosisikan almarhum Johannes Marliem sebagai saksi kunci mega kasus korupsi proyek e-KTP layak bertanggung jawab atas kematiannya," kata Bamsoet dalam keterangan tertulisnya, Senin (14/8/2017).

Menurut politikus Partai Golkar ini, ‎sangat mudah dipahami bahwa ketika penyidik sebuah kasus besar memosisikan seseorang sebagai saksi kunci kasus tersebut, pada saat itu pula para penyidik menempatkan orang itu dalam ancaman yang sangat serius, termasuk ancaman pembunuhan.

Dia menambahkan, kehidupan saksi kunci dan keluarganya tidak nyaman lagi karena terus dibayangi rasa takut. Apalagi, jika nama dan profil saksi kunci itu sudah mendapat publikasi luas. Maka itu lanjut Bamsoet, ‎kematian Johanes memunculkan sejumlah pertanyaan.

"Dengan statusnya sebagai saksi kunci, apakah almarhum dan keluarganya sudah mendapatkan perlindungan maksimal? Lalu, siapa yang mengambil inisiatif memublikasikan nama dan profil almarhum sebagai saksi kunci kasus e-KTP?" paparnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, ‎seorang saksi, apalagi saksi kunci, berhak mendapatkan perlindungan maksimal atau jaminan keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman terkait dengan kesaksian yang akan atau sudah diberikan.

(Baca juga: Fahri Hamzah Pertanyakan Klaim KPK soal Tewasnya Johannes Marliem)

Kewajiban tentang perlindungan saksi ini tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan A tas UU Nomor 13 Tahun 2006 Mengenai Perlindungan Saksi dan Korban. "Tidak melindungi saksi kunci layak dituduh melanggar undang-undang," ungkapnya.

Sedangkan tindakan memublikasikan nama dan profil seorang saksi kunci dianggapnya sebagai perilaku tidak profesional yang tidak bisa ditolerir, karena sama saja dengan menempatkan saksi kunci dalam ancaman yang sangat serius.

"Karena itu, harus ada pihak yang bertanggung jawab atas kematian Johanes, karena almarhum diketahui berstatus sebagai saksi kunci mega kasus korupsi e-KTP," ungkapnya.

Diketahui, nama almarhum Johannes memang disebut dalam surat tuntutan jaksa KPK terhadap terdakwa Irman dan Sugiharto, yakni sebagai penyedia Automated Finger Print Identification System (AFIS) merek L-1.

Dari Johannes pula penyidik KPK banyak mendapatkan bukti rekaman serta aliran uang e-KTP. "Kalau KPK memosisikan almarhum sebagai saksi kunci, KPK harus memberi perlindungan maksimal kepada almarhum dan keluarganya. Akan tetapi, tindakan memublikasikan nama dan profil almarhum tetap saja tidak dapat ditolerir," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6461 seconds (0.1#10.140)